Redaksi | Pedoman Media Siber | Disclamair | Kontak
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP BURUH ALIH DAYA

redaksi
Kamis, 14 Mar 2024 06:22 WIB | dilihat: 14783 kali

Oleh : Apul Sihombing, S.H,.M.H 

Sebelum kita membahas Pertanggungjawaban hukum terhadap buruh Alih daya, sebaiknya kita memahami dulu apa itu alih daya dan apa dasar hukumnya?

Alih daya atau yang sering kita dengar dengan istilah (Outsorcing) adalah penyerahan sebagian pekerjaan pada perusahaan lain baik dengan perjanjian pemborongan atau perjanian penyedia jasa tenaga kerja (baca pasal 64 undang - undang nomor 13 tahun 2003) semangat tercetusnya pasal ini awalnya untuk memberikan kesempatan pada perusahaan lokal (kearifan lokal) namun belakangan ini tercium modus operandi yang sebenarnya, dicurigai Perusahaan tidak mau direpotkan mengurusi masalah buruh apalagi dengan lahirnya undang - undang no 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja serikat buruh.

Dengan lahirnya undang undang ini perusahaan selalu direpotkan oleh serikat buruh, sehingga lahirlah UU No 13 tahun 2003 yang melahirkan sistim alih daya sehingga dengan demikian urusan dan pertanggungjawaban terhadap buruh menjadi urusan perusahaan alih daya.

(Baca pasal 66 uu no 13 tahun 2003) perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerj/buruh;

Fenomena Ali daya sudah santer sejak lahirnya undang-undang nomor 13 tahun 2003.

Hal ini menjadi ancaman bagi buruh karena kehilangan kepastian hukum, kepastian bekerja berkesinambungan di Perusahaan, mengapa demikian karena perusahaan Alih daya ini kecenderungan tidak memiliki pilihan apapun manakala pemberi kerja mengembalikan buruh ke perusahaan Alidaya.

Contoh ketika misalnya perusahaan alih daya menyalurkan tenaga kerjanya ke perusahaan A, lalu atas dasar penilaian subjektif si buruh dikembalikan ke perusahaan alih daya maka mau tidak mau perusahaan Alidaya mem-PHK si buruh. Inilah merupakan ancaman bagi pekerja buruh.

Delain itu pada undang-undang No 13 tahun 2003 tidak ada mengatur apabila perusahaan Alih daya putus kontrak dari perusahaan pemberi kerja sehingga mau tidak mau pekerja/buruh harus di-PHK.

Pasca terjadinya perubahan Undang - undang no 13 tahun 2003 dengan diundangkannya Undang - undang No 2 tahun 2022 tentang Cipta kerja peralihan buruh dari Perusahaan Alih daya apabila putus kontrak maka dapat dipekerjakan pada perusahaan Alih daya berikutnya.

Hal itu diatur pada PP No 35 tahun 2021 sebagai Peraturan Pelaksana dari UU Cipta kerja pasal 19 dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan buruh berdasarkan PKWT maka perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan peralihan perlindungan hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian Perusahaan Alih daya sepanjang objek pekerjaannya teta. (***)



Rekomendasi untuk Anda


Connect With Us





Copyright © 2015 riaubangkit
All right reserved